KEMBANG JEPUN (KYA - KYA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memberikan arti tentang sejarah tidaklah mudah, Untuk
itu mengetahui kajian ilmu sejarah apalagi pemula khususnya mahasiswa atau
peminat sejarah dianjurkan terlebih dahulu paham dan mengerti hakikat dari
sejarah itu sendiri.
Mengenai pengertian sejarah lokal, Kelihatanya sampai sekarang belum ada rumusan yang memuaskan tentang apa Sejarah lokal , Menurut : H.P.R. Finberg (Sejarawan Inggris) Bukunya Lokal History, Obyektive And Pursuit tidak ada yang mengemukakan yang lebih eksplisit. Namun demikian di sini bisa mencoba memulai dengan rumusan sederhana, yaitu sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas pada lokalitas tertentu, jadi terbatas lingkup terutama dikaitkan dengan dengan unsur wilayah.
Mengenai pengertian sejarah lokal, Kelihatanya sampai sekarang belum ada rumusan yang memuaskan tentang apa Sejarah lokal , Menurut : H.P.R. Finberg (Sejarawan Inggris) Bukunya Lokal History, Obyektive And Pursuit tidak ada yang mengemukakan yang lebih eksplisit. Namun demikian di sini bisa mencoba memulai dengan rumusan sederhana, yaitu sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas pada lokalitas tertentu, jadi terbatas lingkup terutama dikaitkan dengan dengan unsur wilayah.
Menurut Taufik Abdullah sejarah lokal adalah suatu peristiwa
yang terjadi di tingkat lokal yang batasannya dibuat atas kesepakatan atau
perjanjian oleh penulis sejarah. Batasan lokal ini menyangkut aspek geografis
yang berupa tempat tinggal suku bangsa, suatu kota, atau desa (Abdullah, 1982).
Ahli lain mengatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang
sejarah yang bersifat geografis yang mendasarkan kepada unit kecil seperti
daerah, kampung, komunitas atau kelompok masyarakat tertentu (Abdullah, 1994:
52). suatu peristiwa yang terjadi di daerah yang merupakan imbas atau latar
terjadinya peristiwa nasional.
Sebaliknya, Wasino (2009: 2) mengatakan bahwa sejarah lokal
adalah sejarah yang posisinya kewilayahannya di bawah sejarah nasional. Sejarah
baru muncul setelah adanya kesadaran adanya sejarah nasional. Namun demikian
bukan berarti semua sejarah lokal harus memiliki keterkaitan dengan sejarah
nasional. Sejarah lokal bisa mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki
keterkaitan dengan sejarah nasional dan peristiwa-peristiwa khas lokal yang
tidak berhubungan dengan peristiwa yang lebih luas seperti nasional, regional,
atau internasional.
Di Indonesia disamping istilah sejarah lokal, dikenal juga
dengan istilah daerah. Sehingga istilah sejarah lokal dan sejarah daerah
digunakan seringkali berganti-ganti tampa penjelasan yang tegas. Lokal
dan daerah secara harfiah memiliki arti yang sama, tetapi dalam kajian
sejarah banyak digunakan istilah lokal. Dengan pertimbangan daerah selalu
berkonotasi politis (adanya stratifikasi pusat dan daerah: DATI I dan II)
sehingga lebih digunakan bahasa lokal karena lebih netral dan tidak brkonotasi
politis. Sedangkan pengertian regional dan nasional. Regional secara
internasional Negara yang berada dalam lingkup regional disebut lokal. Contoh asia
tenggara: Indonesia, Vietnam,dll. Dengan demikian, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang kajian mengenai masa lalu dari
suatu kelompok atau masyarakat yang mendiami unit wilayah yang terbatas.
Dari beberapa batasan ini bisa disimpulkan bahwa ruang
lingkup sejarah lokal atas dasar jalan pikiran Jordan ialah keseluruhan
lingkungan yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti Desa, Kecamatan,
Kabupaten, Kota Kecil dll, kesatuan wilayah itu beserta unsur-unsur institusi
sosial dan budaya yang berada disuatu lingkungan itu seperti : Keluarga, pola
pemukiman, mobilityas prnduduk, kegotong royongan, pasar, tehnologi pertanian ,
lembaga pemerintahan setempat, perkumpulan kesenian, monumen dll.
Seperti disebutkan diatas bahwa Sejarah Lokal ditentukan Scope
areal, juga segi Perspektif waktu, misal Sejarah Blambangan pada
zaman VOC, Sejarah Madiun pasca Perjanjian Giyanti, dsb. Selain luas Areal dan
waktu, didalam approach sejarah lokal dapat ditentukan tema (Segi
Permasalahanya) atau aspek-aspeknya seperti Aspek Politik, Sosial Ekonomi,
Kultural, Militer, religius atau yang lain.
B. Rumusan Masalah
Dalam Penelitian ini kami membatasi rumusan masalah sebagai
berikut :
a)
Apa
yang mendasari berdirinya daerah Kembang Jepun (Kya-kya) ?
b)
Bagaimana
Kembang Jepun (Kya-kya) dapat menjadi cikal bakal kota perdagangan di Surabaya
?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui yang
mendasari berdirinya Kembang Jepun (Kya-kya) di Surabaya
2) Untuk mengetahui sejarah perkembangan
Kembang Jepun (Kya-kya) yang menjadi cikal bakal Perdagangan di Surabaya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kembang Jepun (Kya-Kya)
Sejak abad ke XIX
Surabaya sudah memiliki pusat kota yang terkenal sampai di mana-mana yaitu
Kembang Jepun. Pada saat itu Kembang Jepun sudah merangkap dua fungsi
sekaligus. Sebagai pusat perputaran uang sekaligus downtown. Di abad berikutnya
peranan Kembang Jepun sebagai Wall Street belum berubah, tapi Kembang Jepun
sebagai down Town sudah digeser oleh Tunjungan. Dan di abad XXI peranan
Tunjungan sudah digeser pula oleh Mall-mall modern di berbagai sudut kota.
Jaman memang selalu
berubah. Kadang berubah samasekali, kadang hanya berputar seperti roda pedati.
Tenggelamnya Kembang Jepun dan disusul dengan Tunjungan, menyebabkan Surabaya
sebagai kota telah kehilangan ikon-ikonnya yang penting.
Itulah sebabnya,
diciptakan Kembang Jepun sebagai ikon baru kota Surabaya. Maka kalau di
kota-kota besar di dunia selalu mempunyai bagian kota yang khas sebagai pusat
kya-kya (walkstreet), Surabaya dengan Kembang Jepun yang baru juga akan memilikinya.
Dan menamakannya dengan Pusat Kya-kya Kembang Jepun (PKKJ Surabaya).
Kya-Kya berasal dari
bahasa Cina yang berarti jalan-jalan. Pemilihan nama tersebut karena Pemkot
Surabaya berharap kawasan Jepun bisa semarak di malam hari. Dipilihnya nama
Kya-Kya karena kawasan Kembang Jepun juga dikenal sebagai kawasan Pecinan.
Bahkan, berdasarkan catatan sejarah, Jepun sudah menjadi kawasan yang paling
sibuk sejak zaman Hindia Belanda. Tak jauh dari Kembang Jepun, ada jembatan
merah yang terkenal itu.
Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama
dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap
menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Kawasan ini terkenal sebagai
pusat perdagangan grosir, yang kemudian dikenal sebagai CBD (central business
district) I Kota Surabaya. Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang
perjalanan Kota Surabaya.
Perjalanannya penuh
dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya,
Kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal. Banyak
pedagang asing yang menambatkan kapalkapalnya di lokasi di mana kemudian
menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis
membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun.
Tegak lurus dengan
Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil
membawa perannya. Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan
menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan
itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri
tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa
Kecil". Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti
perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis.
Ir Handinoto, pengajar arsitektur
Universitas Kristen Petra yang pernah meneliti perkembangan kota dan arsitektur
kolonial Belanda di Surabaya pada 1870-1940 memaparkan, sejak zaman Deandels,
1811, pusat pemerintahan ada Kota Surabaya terletak di kawasan Jembatan Merah.
Kantor residen dan ruang kegiatan pemerintahan lainnya seperti bea cukai serta
kantor kepolisian, semua tergabung dalam satu gedung yang berhadapan dengan
Jembatan Merah.
Hingga tahun 1905, semua pusat kegiatan
pemerintahan tetap berada di kawasan Jembatan Merah. Bahkan kapal-kapal dari
selat Madura yang hilir mudik menyusuri Kalimas dapat berlayar menuju Jembatan
Merah. Waktu itu, pelabuhan Tanjung Perak belum ada. Kontan saja, sebagai pusat
pemerintahan yang selalu ramai akhirnya menyedot warga kota untuk beramai-ramai
pula menggelar kegiatan ekonomi di sekitarnya.
Di sebelah barat Jembatan Merah,
seperti jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan jalan Rajawali
(Heerenstraat), dipenuhi pedagang-pedagang kelas kakap dari bangsa Eropa.
Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sementara wilaah di
sebelah Timur dihuni oleh warga Asia, seperti Tionghoa, Arab dan Melayu.
Pembagian wilayah bagi kelompok-kelompok ini tidak terlepas karena adanya
undang-undang wilayah atau Wijkenstelsel yang ditetapkan Belanda.
Dukut Imam Wibowo, penulis buku Soerabaia
Tempo Doeloe, memiliki catatan sendiri mengenai perkembangan kota Surabaya,
terutama kawasan Kembang Jepun. Menurutnya, masyarakat Cina menjadi golongan
yang sangat penting di Surabaya. Keberadaan mereka sudah dimulai sejak tahun
1411, dan pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps
atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas.
Ada beberapa jalan yang banyak terdapat permukiman warga Tionghoa
itu antara lain Chinesevorstraat atau kini jalan Karet, dan Hendelstraat atau
kini dikenal Kembang Jepun. Dan di Kembang Jepun inilah kemudian berkembang
menjadi sentra perdagangan besar di kota Surabaya. Posisi yang strategis
sebagai jalan penghubung dan muara dari banyak jalan kecil yang terdapat di
sepanjang jalan itu, menjadikan Kembang Jepun tumbuh berkembang menjadi pusat
grosir sekaligus rumah tinggal para pedagang. Apalagi, para pejabat pemerintah
Hindia Belanda yang tidak begitu pintar mengelola bisnis, lalu
memperjualberlikan pacth atau hak monopoli, seperti hak atas rumah gadai, candu
dan pelacuran kepada pedagang Tionghoa.
Asal nama Kembang Jepun, menurut
Hadinoto, bermula ketika Jembatan Merah menjadi pusat kota. Pedagang yang mau
berbisnis di Hendelstraat harus melewati pemeriksaan di residen. Setlah
memperoleh ijin dan kegiatan berdagang berlangsung, akhirnya memunculkan
bermacam hotel dan losmen untuk tempat menginap para pebisnis. Kehadiran hotel
dan losmen itu ternyata menarik tumbuhnya kupu-kupu malam dari negeri Sakura,
yang pada waktu itu tengah mengalami kegelapan. Kupu-kupu malam itu berjajar, terpampang
menghias malam-malam sepanjang jalan itu. Orang kemudian menyebutnya jalan
Kembang Jepun. Jepun dalam bahasa Melayu berarti Jepang.
Searus perkembangan kota Surabaya,
muncul sentra-sentra dagang lain, apalagi setelah selesai pembangunan Pelabuhan
Tanjung Perak pada tahun 1910. Perdagangan tak lagi terpusat di Jembatan Merah
dan sekitarnya. Kembang Jepun, yang semula paling dikenal sebagai pusat dagang
sekaligus menjadi rumah hunian, mulai ditinggalkan. Suasana di kawasan itupun
makin sepi, tak seramai sebelumnya, apalagi di malam hari.
Namun kegiatan perdagangan tetap
berlangsung. Jajaran gedung yang berderet di sana, berkembang menjadi gedung
perkantoran. Begitu pula ketika Jembatan Merah diramaikan dengan berdiriny
Jembatan Merah Plaza, sepanjang jalan Kembang Jepun menjadi tujuan para
pedagang kaki lima (PKL) membuka usaha, meski jumlahnya tak banyak.
Dan, setelah dibuka menjadi Pusat
Kya-kya, Kembang Jepun kembali hidup dan ramai. Bahkan ramai sekali. Tapi di
tengah keramaian itu, ada segumpal kegundahan para pedagang lama yang mnggelar
dagangan di kawasan relokasi baru tersebut. Tak hanya pedagang lama, pedagang
barupun yang direlokasi dari tujuh jalur yang ‘dipaksa’ pindah ke kawasan pusat
Kya-kya itu juga tak kalah mengeluh. Kegelisahan para PKL itu, dipicu oleh
keraguan akan keberhasilan berjualannya, juga karena ketentuan yang
disyaratkanpengelola yang dirasa terlalu berat. Nasib para pedagang itupun
masih menggantung. Kenangan dan harapan warga kota Surabaya akan kejayaan
Kembang Jepun terasa bagai nostalgia sumbang.
DAFTAR
PUSTAKA
Gasalba,
Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Bhratara:Jakarta.
Gottschalk,
Louis. 1975. Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia:
Jakarta.
Kartodirdjo.
1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah. PT.Gramedia: Jakarta.
Kuntowijoyo.
1993. Metodelogi Sejarah. UGM. PT Tiara kencana: Yogyakarta.
Koentjaraningrat.
1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru: Jakarta.