Senin, 03 November 2014

Kembang Jepun

KEMBANG JEPUN (KYA - KYA)




BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Dalam memberikan arti tentang sejarah tidaklah mudah, Untuk itu mengetahui kajian ilmu sejarah apalagi pemula khususnya mahasiswa atau peminat sejarah dianjurkan terlebih dahulu paham dan mengerti hakikat dari sejarah itu sendiri.
Mengenai pengertian sejarah lokal, Kelihatanya sampai sekarang belum ada rumusan yang memuaskan tentang apa Sejarah lokal , Menurut : H.P.R. Finberg (Sejarawan Inggris) Bukunya Lokal History, Obyektive And Pursuit tidak ada yang mengemukakan yang lebih eksplisit.  Namun demikian di sini bisa mencoba memulai dengan rumusan sederhana, yaitu sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas pada lokalitas tertentu, jadi terbatas lingkup terutama dikaitkan dengan dengan unsur wilayah.
Menurut Taufik Abdullah sejarah lokal adalah suatu peristiwa yang terjadi di tingkat lokal yang batasannya dibuat atas kesepakatan atau perjanjian oleh penulis sejarah. Batasan lokal ini menyangkut aspek geografis yang berupa tempat tinggal suku bangsa, suatu kota, atau desa (Abdullah, 1982).
Ahli lain mengatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang sejarah yang bersifat geografis yang mendasarkan kepada unit kecil seperti daerah, kampung, komunitas atau kelompok masyarakat tertentu (Abdullah, 1994: 52). suatu peristiwa yang terjadi di daerah yang merupakan imbas atau latar terjadinya peristiwa nasional.
Sebaliknya, Wasino (2009: 2) mengatakan bahwa sejarah lokal adalah sejarah yang posisinya kewilayahannya di bawah sejarah nasional. Sejarah baru muncul setelah adanya kesadaran adanya sejarah nasional. Namun demikian bukan berarti semua sejarah lokal harus memiliki keterkaitan dengan sejarah nasional. Sejarah lokal bisa mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki keterkaitan dengan sejarah nasional dan peristiwa-peristiwa khas lokal yang tidak berhubungan dengan peristiwa yang lebih luas seperti nasional, regional, atau internasional.
Di Indonesia disamping istilah sejarah lokal, dikenal juga dengan istilah daerah. Sehingga istilah sejarah lokal dan sejarah daerah digunakan seringkali berganti-ganti tampa  penjelasan yang tegas. Lokal dan daerah secara harfiah  memiliki arti yang sama, tetapi dalam kajian sejarah banyak digunakan istilah lokal. Dengan pertimbangan daerah selalu berkonotasi politis (adanya stratifikasi pusat dan daerah: DATI I dan II) sehingga lebih digunakan bahasa lokal karena lebih netral dan tidak brkonotasi politis. Sedangkan pengertian regional dan nasional. Regional secara internasional Negara yang berada dalam lingkup regional disebut lokal. Contoh asia tenggara: Indonesia, Vietnam,dll. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang kajian mengenai masa lalu dari suatu kelompok atau masyarakat yang mendiami unit wilayah yang terbatas.
Dari beberapa batasan ini bisa disimpulkan bahwa ruang lingkup sejarah lokal atas dasar jalan pikiran Jordan ialah keseluruhan lingkungan yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti Desa, Kecamatan, Kabupaten, Kota Kecil dll, kesatuan wilayah itu beserta unsur-unsur institusi sosial dan budaya yang berada disuatu lingkungan itu seperti : Keluarga, pola pemukiman, mobilityas prnduduk, kegotong royongan, pasar, tehnologi pertanian , lembaga pemerintahan setempat, perkumpulan kesenian, monumen dll.
Seperti disebutkan diatas bahwa Sejarah Lokal ditentukan Scope areal, juga segi Perspektif waktu, misal  Sejarah Blambangan pada zaman VOC, Sejarah Madiun pasca Perjanjian Giyanti, dsb. Selain luas Areal dan waktu, didalam approach sejarah lokal dapat ditentukan tema (Segi Permasalahanya) atau aspek-aspeknya seperti Aspek Politik, Sosial Ekonomi, Kultural, Militer, religius atau yang lain.

B.     Rumusan Masalah

Dalam Penelitian ini kami membatasi rumusan masalah sebagai berikut :
a)      Apa yang mendasari berdirinya daerah Kembang Jepun (Kya-kya) ?
b)      Bagaimana Kembang Jepun (Kya-kya) dapat menjadi cikal bakal kota perdagangan di Surabaya ?


C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :
1)      Untuk mengetahui  yang  mendasari  berdirinya  Kembang Jepun (Kya-kya) di Surabaya
2)      Untuk mengetahui sejarah perkembangan Kembang Jepun (Kya-kya) yang menjadi cikal bakal Perdagangan di Surabaya



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Sejarah Kembang Jepun (Kya-Kya)

Sejak abad ke XIX Surabaya sudah memiliki pusat kota yang terkenal sampai di mana-mana yaitu Kembang Jepun. Pada saat itu Kembang Jepun sudah merangkap dua fungsi sekaligus. Sebagai pusat perputaran uang sekaligus downtown. Di abad berikutnya peranan Kembang Jepun sebagai Wall Street belum berubah, tapi Kembang Jepun sebagai down Town sudah digeser oleh Tunjungan. Dan di abad XXI peranan Tunjungan sudah digeser pula oleh Mall-mall modern di berbagai sudut kota.
Jaman memang selalu berubah. Kadang berubah samasekali, kadang hanya berputar seperti roda pedati. Tenggelamnya Kembang Jepun dan disusul dengan Tunjungan, menyebabkan Surabaya sebagai kota telah kehilangan ikon-ikonnya yang penting.
Itulah sebabnya, diciptakan Kembang Jepun sebagai ikon baru kota Surabaya. Maka kalau di kota-kota besar di dunia selalu mempunyai bagian kota yang khas sebagai pusat kya-kya (walkstreet), Surabaya dengan Kembang Jepun yang baru juga akan memilikinya. Dan menamakannya dengan Pusat Kya-kya Kembang Jepun (PKKJ Surabaya).
Kya-Kya berasal dari bahasa Cina yang berarti jalan-jalan. Pemilihan nama tersebut karena Pemkot Surabaya berharap kawasan Jepun bisa semarak di malam hari. Dipilihnya nama Kya-Kya karena kawasan Kembang Jepun juga dikenal sebagai kawasan Pecinan. Bahkan, berdasarkan catatan sejarah, Jepun sudah menjadi kawasan yang paling sibuk sejak zaman Hindia Belanda. Tak jauh dari Kembang Jepun, ada jembatan merah yang terkenal itu.
Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Kawasan ini terkenal sebagai pusat perdagangan grosir, yang kemudian dikenal sebagai CBD (central business district) I Kota Surabaya. Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang perjalanan Kota Surabaya.
Perjalanannya penuh dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya, Kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal. Banyak pedagang asing yang menambatkan kapalkapalnya di lokasi di mana kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun.
Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya. Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil". Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis.
Ir Handinoto, pengajar arsitektur Universitas Kristen Petra yang pernah meneliti perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Surabaya pada 1870-1940 memaparkan, sejak zaman Deandels, 1811, pusat pemerintahan ada Kota Surabaya terletak di kawasan Jembatan Merah. Kantor residen dan ruang kegiatan pemerintahan lainnya seperti bea cukai serta kantor kepolisian, semua tergabung dalam satu gedung yang berhadapan dengan Jembatan Merah.
Hingga tahun 1905, semua pusat kegiatan pemerintahan tetap berada di kawasan Jembatan Merah. Bahkan kapal-kapal dari selat Madura yang hilir mudik menyusuri Kalimas dapat berlayar menuju Jembatan Merah. Waktu itu, pelabuhan Tanjung Perak belum ada. Kontan saja, sebagai pusat pemerintahan yang selalu ramai akhirnya menyedot warga kota untuk beramai-ramai pula menggelar kegiatan ekonomi di sekitarnya.
Di sebelah barat Jembatan Merah, seperti jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan jalan Rajawali (Heerenstraat), dipenuhi pedagang-pedagang kelas kakap dari bangsa Eropa. Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sementara wilaah di sebelah Timur dihuni oleh warga Asia, seperti Tionghoa, Arab dan Melayu. Pembagian wilayah bagi kelompok-kelompok ini tidak terlepas karena adanya undang-undang wilayah atau Wijkenstelsel yang ditetapkan Belanda.
Dukut Imam Wibowo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, memiliki catatan sendiri mengenai perkembangan kota Surabaya, terutama kawasan Kembang Jepun. Menurutnya, masyarakat Cina menjadi golongan yang sangat penting di Surabaya. Keberadaan mereka sudah dimulai sejak tahun 1411, dan pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas.
Ada beberapa jalan yang banyak terdapat permukiman warga Tionghoa itu antara lain Chinesevorstraat atau kini jalan Karet, dan Hendelstraat atau kini dikenal Kembang Jepun. Dan di Kembang Jepun inilah kemudian berkembang menjadi sentra perdagangan besar di kota Surabaya. Posisi yang strategis sebagai jalan penghubung dan muara dari banyak jalan kecil yang terdapat di sepanjang jalan itu, menjadikan Kembang Jepun tumbuh berkembang menjadi pusat grosir sekaligus rumah tinggal para pedagang. Apalagi, para pejabat pemerintah Hindia Belanda yang tidak begitu pintar mengelola bisnis, lalu memperjualberlikan pacth atau hak monopoli, seperti hak atas rumah gadai, candu dan pelacuran kepada pedagang Tionghoa.
Asal nama Kembang Jepun, menurut Hadinoto, bermula ketika Jembatan Merah menjadi pusat kota. Pedagang yang mau berbisnis di Hendelstraat harus melewati pemeriksaan di residen. Setlah memperoleh ijin dan kegiatan berdagang berlangsung, akhirnya memunculkan bermacam hotel dan losmen untuk tempat menginap para pebisnis. Kehadiran hotel dan losmen itu ternyata menarik tumbuhnya kupu-kupu malam dari negeri Sakura, yang pada waktu itu tengah mengalami kegelapan. Kupu-kupu malam itu berjajar, terpampang menghias malam-malam sepanjang jalan itu. Orang kemudian menyebutnya jalan Kembang Jepun. Jepun dalam bahasa Melayu berarti Jepang.
Searus perkembangan kota Surabaya, muncul sentra-sentra dagang lain, apalagi setelah selesai pembangunan Pelabuhan Tanjung Perak pada tahun 1910. Perdagangan tak lagi terpusat di Jembatan Merah dan sekitarnya. Kembang Jepun, yang semula paling dikenal sebagai pusat dagang sekaligus menjadi rumah hunian, mulai ditinggalkan. Suasana di kawasan itupun makin sepi, tak seramai sebelumnya, apalagi di malam hari.
Namun kegiatan perdagangan tetap berlangsung. Jajaran gedung yang berderet di sana, berkembang menjadi gedung perkantoran. Begitu pula ketika Jembatan Merah diramaikan dengan berdiriny Jembatan Merah Plaza, sepanjang jalan Kembang Jepun menjadi tujuan para pedagang kaki lima (PKL) membuka usaha, meski jumlahnya tak banyak.
Dan, setelah dibuka menjadi Pusat Kya-kya, Kembang Jepun kembali hidup dan ramai. Bahkan ramai sekali. Tapi di tengah keramaian itu, ada segumpal kegundahan para pedagang lama yang mnggelar dagangan di kawasan relokasi baru tersebut. Tak hanya pedagang lama, pedagang barupun yang direlokasi dari tujuh jalur yang ‘dipaksa’ pindah ke kawasan pusat Kya-kya itu juga tak kalah mengeluh. Kegelisahan para PKL itu, dipicu oleh keraguan akan keberhasilan berjualannya, juga karena ketentuan yang disyaratkanpengelola yang dirasa terlalu berat. Nasib para pedagang itupun masih menggantung. Kenangan dan harapan warga kota Surabaya akan kejayaan Kembang Jepun terasa bagai nostalgia sumbang.



DAFTAR PUSTAKA

Gasalba, Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Bhratara:Jakarta.
Gottschalk, Louis. 1975.  Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.
Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah. PT.Gramedia: Jakarta.
Kuntowijoyo. 1993. Metodelogi Sejarah. UGM. PT Tiara kencana: Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru: Jakarta.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar